Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 2

minto11Bagian pertama dari tulisan ini telah kami paparkan tentang adanya sekelompok kecil warga Mintobasuki yang diduga terpengaruh dengan aliran sesat karena pengamalan Islam mereka berbeda dengan kebanyakan masyarakat umum. Agar lebih adil dan berimbang dalam menerima informasi terkait keberadaan mereka, mari kita simak penuturan salah satu jamaah mereka yang telah menuliskan klarifikasi tentang berbagai tuduhan yang dialamatkan ke mereka. Berikut ini tulisan yang disampaikan ke kami:

 

Bismillah…

Sudah menjadi kemestian bahwa pada awalnya Islam adalah sesuatu yang asing dan di akhir zaman nanti Islam juga akan kembali asing seperti awalnya, sebagaimana yang telah banyak disinggung oleh Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya. Dan pada saat itu (beliau bersabda:) beruntunglah orang-orang yang di anggap asing. Yaitu orang-orang yang senantiasa melakukan perbaikan  di saat kebanyakan manusia rusak karena meninggalkan ajaran Islam. Dan dalam sabdanya yang lain beliau bersabda yang maknanya: “Akan datang suatu zaman dimana orang yang sabar memegang agamanya bagaikan memegang bara api”, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.

Demikian sedikit gambaran tentang kondisi umat ini menjelang akhir zaman sebagaimana yang dijelaskan oleh rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat itu orang-orang yang benar-benar komitmen dengan agamanya sangatlah sedikit dibanding orang-orang yang menyelisihinya. Sehingga kebenaran dan para pengikutnya sangatlah asing di mata orang-orang yang jauh dari ajaran kebenaran yang jumlah mereka jauh lebih banyak. Sehingga tidak heran jika kemudian terjadi berbagai distorsi, dimana kebenaran dianggap kesesatan dan kesesatan dijadikan pegangan karena dianggap sebagai kebenaran. Kenapa bisa demikian? Karena kebodohan yang demikian pekat menyelimuti kehidupan manusia pada saat itu. Dengan kebodohan itu manusia tidak bisa membedakan antara haqq dan batil, antara benar dan salah, antara halal dan haram dan antara jalan petunjuk dan jalan kesesatan. Hal ini bisa terjadi karena tolak ukurnya bukan lagi parameter yang jelas, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi timbangannya adalah kebodohan dan hawa nafsu. Jadi apapun asalkan sesuai dengan kebodohan dan hawa nafsunya maka itulah kebenaran. Adapun yang tidak sesuai dengannya, maka itu adalah kesesatan dalam pandangan mereka dan harus dijauhi, disingkirkan dan dienyahkan.

Namun akan selalu ada di tengah umat ini suatu kaum yang senantiasa menampakkan kebenaran, tidak memudharatkan mereka orang-orang yang mencela dan menyelisihi mereka. Mereka inilah yang banyak disebut dalam hadits Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam sebagai At-Thaifah al-manshurah yaitu golongan yang ditolong oleh Allah ‘azza wa jalla. Mereka adalah suatu kaum yang tidak takut dengan celaan orang yang mencela. Senantiasa menggigit kebenaran dengan gigi geraham mereka sampai datang kepada mereka al-yaqin yaitu kematian dan mereka dalam keadaan demikian.

Dari uraian di atas, saya mengajak kepada pembaca sekalian -yang saya tujukan sebenarnya kepada para ‘aalim di Mintobasuki dan para tokoh agamanya- untuk kembali merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan persoalan Dieniyyah. Bukannya merujuk kepada perkataan kyai Fulan, syaikh Fulan, aliran fulan dsb. Dan bukan pula menyelesaikannya dengan pemahaman kebanyakan orang awam. Karena perkataan siapa pun boleh diambil jika sesuai kebenaran dan harus ditinggalkan jika ternyata menyelisihi kebenaran. Mengikuti pendapat seseorang tanpa melihat salah dan benarnya menurut timbangan syariat yang shahih adalah pangkal dari sikap ta’ashub (fanatik buta) yang akan membawanya kepada penyimpangan. Sebaliknya, ittiba’ (mengikuti) Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya dan bersungguh-sungguh di atasnya adalah pangkal dari hidayah dan keselamatan.

Para a’immah(ulama) dahulu sangatlah memperhatikan masalah pentingnya berittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shabatnya radhiyallhu ‘anhum.

Imam abu Hanifah rahimahullah pernah berkata:”Jika suatu hadits telah diketahui keshahihannya, maka itu adalah madzhabku”. Di tempat yang lain beliau berkata: “tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil perkataan kami jika dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”. Beliau juga berkata:”Jika saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tinggalkanlah pendapatku”.

Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah berkata: “Setiap orang bisa ditolak perkataannya dan bisa diambil kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Beliau juga berkata: “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ambillah. Dan jika tidak sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah tinggalkanlah”.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:”Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam, peganglah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku itu”. Beliau juga berkata: “bila suatu hadits telah diketahui keshahihannya maka itu madzhabku”, dan masih banyak perkataan beliau lainnya.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “janganlah kalian bertaqlid kepadaku, kepada Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri. Tapi ambillah dari mana mereka mengambil”.

Sebagian perkataan para Imam besar ini saya kutip ulang dari kitab Shifat Shalat Nabi oleh Syaikh Al-Albani dalam muqodimahnya.

Dari perkataan para Imam tersebut kita bisa mengambil pelajaran, bahwa mereka sangat perhatian untuk berittiba’ (mengikuti) hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan segala bentuk ta’ashub(fanatik). Sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam al-Qur’an :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS An_Nisa’:59)

Dengan demikian, untuk menghukumi seseorang sesat atau tidak sesat hendaklah berdasarkan dalil, bukan sekedar hawa nafsu dan kebodohan semata, atau hanya berdasarkan pendapat kebanyakan manusia.

Nah, setelah kita mengetahui kaidah dasar bagaimana seharusnya seorang muslim itu menghukumi sesuatu yang terkait masalah Dien, maka sekarang kita akan mengecek dan meneliti, apakah mereka yang selama ini kita anggap sebagai pengikut sekte sesat apakah benar demikian? Apakah cukup menghukumi seseorang terperosok ke dalam kesesatan hanya karena mereka berbeda dari kebanyakan orang awam? Ataukah selama ini mereka punya dalil yang shahih dan pemahaman yang shahih pula?

Insya Allah bersambung di tulisan ketiga.

Allahu a’lam.

One Response to Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 2

  1. Pingback: Sebuah klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? Bag 3 « Mintobasuki Gabus Pati

Leave a comment